Travelogues

Sabtu, 31 Maret 2012

Pelat Nomor Kendaraan Indonesia

Ketika mengunjungi situs web yang menyediakan foto-foto Indonesia pada era kolonial, saya baru tahu bahwa kode tanda nomor kendaraan bermotor yang saat ini ada di Indonesia, adalah warisan masa kolonial.

Berikut beberapa foto yang diambil pada era kolonial, kecuali foto truk ber-plat nomor BD di Bengkulu yang kira-kira diambil pada tahun 1955.


  • Tanda Kendaraan Bermotor BG Untuk Daerah/Wilayah Sumatra Selatan


The coolies who may on geological surveys for oil, 1937 (Kitlv)







  • Tanda Kendaraan Bermotor BE Untuk Daerah/Wilayah Lampung


Javanese settlers depart from the railway line between East Haven and Blambangan by truck to an agricultural colony near Metro in Lampoengsche Districts, Circa 1940-03 (Kitlv)



  • Tanda Kendaraan Bermotor BD Untuk Daerah/Wilayah Bengkulu


Jacobson van den Berg & Co Office, Branch of Benkoelen, Circa 1955 (Kitlv)



  • Tanda Kendaraan Bermotor BK Untuk Daerah/Wilayah Sumatra Timur


A Fiat Sports Car in Binjai, North Sumatra, Circa 1930 (Kitlv)




Kamis, 29 Maret 2012

Secangkir Es Krim Bersama Chairil Anwar yang Malang| Suatu Hari di Malang

Chairil Anwar yang (di) Malang. (foto: sam)



Ah! Hatiku tak mau member
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
[Chairil Anwar; Sia-sia 1943]

Chairil Anwar yang (di) Malang

Bait akhir puisi “Sia-Sia” teringat ketika saya berhadapan dengan Chairil Anwar. Ia berdiri membelakangi gereja Kayutangan, Malang. Saya sempat mikir ketika mendapati dia ada di sana. Kesepian sendiri di tengah taman kecil sebuah pertigaan.

Bila saja ia ada Jakarta atau di kota kelahirannya, Medan, saya malas mikir.

Jadi teringat awal menyambangi sang Binatang Jalang ini. Setiba di Malang dalam agenda jalan lebaran, saya tersangkut di studio adik saya. Hingga datanglah Momo, pekerja seni yang dulu banyak terlibat menggarap komik bersama saya. Datang hendak sejenak menculik saya. “Ke rumahku, Syam!” Katanya.

Saya katakan bahwa juga saya ingin menemui Chairil Anwar. Si Binatang Jalang itu menunggu di pertigaan Jl. Basuki Rahmad dan Sugijo Pranoto.

“Orang Malang sendiri tak banyak yang tahu kalo itu patung Chairil Anwar, Syam!” cengir terbit di wajah Momo. Dia tahu. Kukira karena dia memang suka sketsa, patung, diorama, dan apapun yang menyeni-rupa.

Adik saya menyambung dengan pertanyaan sederhana terkait hubungan Malang dan Chairil Anwar.

“Entah. Yang pasti itu dibuat sebagai monument peringatan 6 tahun wafatnya Chairil*,” terang saya sok tahu. Haha! Bukan saya bila tak sok tahu! Saya pun baru baca dari buku Malang Tempo Doeloe**. Buku koleksi adik, dia taruh di lemari buku di studionya. Saya ingat tertulis di sana, barangkali sang penyair besar era revolusi itu hendak bilang;

“Wahai penyair kota malang, ini lho Aku, Chairil Anwar! Endi rek hasil karyamu?!”

Umm… Patung penyair besar tapi kadit ayak (tidak kaya) nan kadit ojir (tidak punya duit)*** ini memang tak banyak. Sejauh menelusur, di tanah air hanya ada dua. Satu ada di di dalam Taman Monas, Jakarta. Diresmikan oleh Gubenur DKI Jakarta R. Suprapto pada tanggal 21 Maret 1986. Patung Chairil yang Jakarta 31 tahun lebih muda dibanding patung Chairil yang Malang.

Menurut Dwi Cahyono dalam buku Malang Telusuri dengan Hati menyebut patung Chairil yang Malang adalah hasil prakarsa Hudan Dardiri. Tapi hubungan Chairil Anwar dan Malang? Bisa jadi karena Malang sempat jadi barometer sastra Indonesia setelah Padang dan Yogyakarta. Begitu ditulis Dahlia Irawati.

Di kampung kelahirannya sendiri, Medan, apakah ada monumen, atau museum khusus untuk mengenang Chairil Anwar? Seorang-demi-seorang Medan yang saya sahabati memberi dua jenis jawaban. Bila bukan “tak tahu”, ya “tak ada”! [baca selengkapnya]

Rabu, 28 Maret 2012

Mengejar “Kentut Kuda” | Suatu Hari di Salatiga




Sang walikota dapat pujian. Ide sederhananya berhasil; membuat satu septic-tank raksasa untuk menampung tinja warga satu kota. Bila tak keliru, proyek yang sama juga berfungsi sebagai pembangkit biogas. Hingga suatu ketika, tekanan gas yang terperangkap dalam kubah septic-tank tak tertahankan… dan, dhuaaar! Kubah penuh tahi meledak. Tahi terhambur menghias atap-atap gedung, jalan raya, kendaraan, hingga bangku-bangku taman.

Ini fiksi! Bila tak salah ingat, terbaca di Gump and Co, novel sekuel Forest Gump karya Winston Groom. Keterpingkalan karena humor khas Groom ini hampir berbarengan dengan kekaguman pada satu cerita terkait biogas.

Biogas, saat ini bukan hal yang asing. Ia adalah bahan bakar gas yang dibangkitkan dari fermentasi biomassa yang dapat terurai, utamanya kotoran ternak dan kotoran manusia. Proses untuk menghasilkan biogas tak berlimbah, padatan dan cairan yang tersisa dari proses dapat dipakai sebagai kompos dan pupuk organik cair. Gasnya dialirkan ke kompor. Ada pula yang digunakan untuk membangkitkan listrik. Karena sifatnya yang ramah lingkungan dan terbarukan, biogas menjadi bahan bakar alternatif yang cocok untuk bahan bakar masa depan.

Beberapa teman pelaku peternakan sudah menempatkan biogas sebagai bagian dalam keterpaduan. Mulai dari yang serius nian dibuat dengan kubah pendam berbahan beton, hingga yang digester-nya dibangun “sekadarnya” dengan drum bekas.

Di karanganyar, parak Solo, saya pernah tandangi satu peternak sapi. Dapurnya ngebul dengan bahan bakar biomassa limbah ternak. Satu hari, kebutuhan masak-memasak di sana hanya butuh 10 ember tahi sapi ditambah 10 ember air. Praktis sejak tahun 1984, sang pemilik rumah tak dipusingkan kelangkaan atau kenaikkan harga minyak tanah, tak sibuk oleh isu konversi minyak tanah ke gas, dan terhindar dari ledakan mematikan tabung gas 3 kg.

Sepengingat saya Instalasi biogas dalam model keterpaduan yang luar biasa menarik sempat saya tehu di sekitar tahun 1998-an. Biogas dipadu moda transportasi. Di Salatiga, Yayasan Geni pernah membangun instalasi biogas di sebuah terminal dokar. Saya kira pemanfaatan kotoran kuda dijadikan sumber biogas lalu dialirkan ke dapur warung-warung nasi di terminal, adalah model keterpaduan yang amat canggih.

Bila biogas digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, adakah ia mencemari aroma masakan? Sebelum disulut api, memang terendus tipis bau tak sedap. Bau dari biogas kotoran sapi, anggap saja mirip bau kentut sapi. Sejurus setelah gas kena api, serta merta bau kentut sapi itu pudar.
 
Mengejar “kentut kuda” adalah alasan kesinggahan saya ke Salatiga. Kali pertama setelah memendamnya selama bertahun-tahun. Hanya berbekal ingatan masa lalu, saya kira pastilah proyek itu terbangun di terminal. Sesampai terminal Tingkir, petugas terminal, tukang parkir, maupun penjaga warung nasi tak memberi jawaban kecuali ketidaktahuan. Tapi ternyata, terminal Tingkir adalah terminal anyar yang dipakai sejak tahun 2000. Lebih muda dari proyek biogas yang hendak saya datangi. Sebelumnya terminal kota Salatiga berada di Soka.

“Sekarang jadi kebun singkong, Mas?” terang tukang parkir ketika tanya lebih lanjut tentang terminal Soka [baca selengkapnya...]