Sang walikota dapat pujian. Ide
sederhananya berhasil; membuat satu septic-tank raksasa untuk menampung tinja
warga satu kota. Bila tak keliru, proyek yang sama juga berfungsi sebagai
pembangkit biogas. Hingga suatu ketika, tekanan gas yang terperangkap dalam
kubah septic-tank tak tertahankan… dan, dhuaaar! Kubah penuh tahi meledak. Tahi
terhambur menghias atap-atap gedung, jalan raya, kendaraan, hingga
bangku-bangku taman.
Ini fiksi! Bila tak salah ingat, terbaca di Gump
and Co, novel sekuel Forest Gump karya Winston Groom. Keterpingkalan karena
humor khas Groom ini hampir berbarengan dengan kekaguman pada satu cerita
terkait biogas.
Biogas, saat ini bukan hal yang asing. Ia adalah
bahan bakar gas yang dibangkitkan dari fermentasi biomassa yang dapat terurai,
utamanya kotoran ternak dan kotoran manusia. Proses untuk menghasilkan biogas
tak berlimbah, padatan dan cairan yang tersisa dari proses dapat dipakai
sebagai kompos dan pupuk organik cair. Gasnya dialirkan ke kompor. Ada pula
yang digunakan untuk membangkitkan listrik. Karena sifatnya yang ramah lingkungan
dan terbarukan, biogas menjadi bahan bakar alternatif yang cocok untuk bahan
bakar masa depan.
Beberapa teman pelaku peternakan sudah
menempatkan biogas sebagai bagian dalam keterpaduan. Mulai dari yang serius
nian dibuat dengan kubah pendam berbahan beton, hingga yang digester-nya
dibangun “sekadarnya” dengan drum bekas.
Di karanganyar, parak Solo, saya pernah tandangi
satu peternak sapi. Dapurnya ngebul dengan bahan bakar biomassa limbah ternak.
Satu hari, kebutuhan masak-memasak di sana hanya butuh 10 ember tahi sapi
ditambah 10 ember air. Praktis sejak tahun 1984, sang pemilik rumah tak
dipusingkan kelangkaan atau kenaikkan harga minyak tanah, tak sibuk oleh isu
konversi minyak tanah ke gas, dan terhindar dari ledakan mematikan tabung gas 3
kg.
Sepengingat saya Instalasi biogas dalam model
keterpaduan yang luar biasa menarik sempat saya tehu di sekitar tahun 1998-an.
Biogas dipadu moda transportasi. Di Salatiga, Yayasan Geni pernah membangun
instalasi biogas di sebuah terminal dokar. Saya kira pemanfaatan kotoran kuda
dijadikan sumber biogas lalu dialirkan ke dapur warung-warung nasi di terminal,
adalah model keterpaduan yang amat canggih.
Bila biogas digunakan sebagai bahan bakar untuk
memasak, adakah ia mencemari aroma masakan? Sebelum disulut api, memang
terendus tipis bau tak sedap. Bau dari biogas kotoran sapi, anggap saja mirip
bau kentut sapi. Sejurus setelah gas kena api, serta merta bau kentut sapi itu
pudar.
Mengejar “kentut kuda” adalah alasan kesinggahan
saya ke Salatiga. Kali pertama setelah memendamnya selama bertahun-tahun. Hanya
berbekal ingatan masa lalu, saya kira pastilah proyek itu terbangun di
terminal. Sesampai terminal Tingkir, petugas terminal, tukang parkir, maupun
penjaga warung nasi tak memberi jawaban kecuali ketidaktahuan. Tapi ternyata,
terminal Tingkir adalah terminal anyar yang dipakai sejak tahun 2000. Lebih
muda dari proyek biogas yang hendak saya datangi. Sebelumnya terminal kota
Salatiga berada di Soka.
“Sekarang jadi kebun singkong, Mas?” terang
tukang parkir ketika tanya lebih lanjut tentang terminal Soka [
baca selengkapnya...]