Ada satu ketika saya merasa menjadi orang paling tidak bisa dipercaya
se-dunia. Suatu ketika di Pulau Rubiah.
Rubiah. Hanya
seluas 50 hektar. Separuh milik pemerintah. Separuh kepunyaan satu keluarga.
Tersembunyi tenang dipelukan teluk kecil Pulau We, Nanggroe Aceh Darussalam.
Tersembunyi tenang pula di sana sebuah taman laut.
Kalau tak karena undangan dan kebaikan seorang sahabat karib, belum tentu saya sempat bersembunyi ke pulau ini.
Pangkal pekan
itu, hanya ada beberapa penyembunyi yang datang. Saya dan teman. Sepasang
Australia yang sedang membangun pondok. Seorang Jerman bernama Jurgen yang
berbadan raksasa, demi diet ia makan hanya sekali sehari, dan berusaha mendapat
ikan dari hasil pancingan sendiri. Tapi mirip selalu gagal.
Teman lain,
satu perempuan Finlandia mengaku mengenalkan namanya dengan bunyi A-yu-ni.
Selebihnya, penghuni asli pulau. Salah satunya yang kelak cukup akrab adalah
Syamsul si Tukang Boat yang akhirnya saya panggil ‘Mo alias senamo
(Palembang; sama nama).
Ayunilah yang
pertama saya kenal di pulau yang di masa kolonial Belanda sempat menjadi tempat
penampungan jemaa’ah Haji.
“Saya, Syam!
Dan ini Dewa Gumay, my 'mister house'!” canda saya dengan english yang sekadar cukup untuk makan
ketika menyambut uluran perkenalan Ayuni. Saya kira dia tak paham maksud saya
dengan istilah “mister house”.
Tapi dia
tersenyum dan bertanya-tanya apa pekerjaan kami, apakah mahasiswa yang
melancong. Sahabat saya, adalah penggiat lingkungan di sebuah lembaga
internasional yang mengurus fauna dan flora. Saya sering juluki sahabat baik
saya itu sebagai "aktifis binatang".
Ketika Ayuni menanyai apakah saya juga penggiat lingkungan. Saya bilang bukan. Bukan aktifis organisasi lingkungan. Saya mendapat jawaban Ayuni; “I don’t believe you!”
Saya tertawa saja. Beberapa saat setelah obrol, Ayuni menjebi seraya menggeleng tak percaya [baca lebih lanjut]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar