Travelogues

Rabu, 28 Maret 2012

Mengejar “Kentut Kuda” | Suatu Hari di Salatiga




Sang walikota dapat pujian. Ide sederhananya berhasil; membuat satu septic-tank raksasa untuk menampung tinja warga satu kota. Bila tak keliru, proyek yang sama juga berfungsi sebagai pembangkit biogas. Hingga suatu ketika, tekanan gas yang terperangkap dalam kubah septic-tank tak tertahankan… dan, dhuaaar! Kubah penuh tahi meledak. Tahi terhambur menghias atap-atap gedung, jalan raya, kendaraan, hingga bangku-bangku taman.

Ini fiksi! Bila tak salah ingat, terbaca di Gump and Co, novel sekuel Forest Gump karya Winston Groom. Keterpingkalan karena humor khas Groom ini hampir berbarengan dengan kekaguman pada satu cerita terkait biogas.

Biogas, saat ini bukan hal yang asing. Ia adalah bahan bakar gas yang dibangkitkan dari fermentasi biomassa yang dapat terurai, utamanya kotoran ternak dan kotoran manusia. Proses untuk menghasilkan biogas tak berlimbah, padatan dan cairan yang tersisa dari proses dapat dipakai sebagai kompos dan pupuk organik cair. Gasnya dialirkan ke kompor. Ada pula yang digunakan untuk membangkitkan listrik. Karena sifatnya yang ramah lingkungan dan terbarukan, biogas menjadi bahan bakar alternatif yang cocok untuk bahan bakar masa depan.

Beberapa teman pelaku peternakan sudah menempatkan biogas sebagai bagian dalam keterpaduan. Mulai dari yang serius nian dibuat dengan kubah pendam berbahan beton, hingga yang digester-nya dibangun “sekadarnya” dengan drum bekas.

Di karanganyar, parak Solo, saya pernah tandangi satu peternak sapi. Dapurnya ngebul dengan bahan bakar biomassa limbah ternak. Satu hari, kebutuhan masak-memasak di sana hanya butuh 10 ember tahi sapi ditambah 10 ember air. Praktis sejak tahun 1984, sang pemilik rumah tak dipusingkan kelangkaan atau kenaikkan harga minyak tanah, tak sibuk oleh isu konversi minyak tanah ke gas, dan terhindar dari ledakan mematikan tabung gas 3 kg.

Sepengingat saya Instalasi biogas dalam model keterpaduan yang luar biasa menarik sempat saya tehu di sekitar tahun 1998-an. Biogas dipadu moda transportasi. Di Salatiga, Yayasan Geni pernah membangun instalasi biogas di sebuah terminal dokar. Saya kira pemanfaatan kotoran kuda dijadikan sumber biogas lalu dialirkan ke dapur warung-warung nasi di terminal, adalah model keterpaduan yang amat canggih.

Bila biogas digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, adakah ia mencemari aroma masakan? Sebelum disulut api, memang terendus tipis bau tak sedap. Bau dari biogas kotoran sapi, anggap saja mirip bau kentut sapi. Sejurus setelah gas kena api, serta merta bau kentut sapi itu pudar.
 
Mengejar “kentut kuda” adalah alasan kesinggahan saya ke Salatiga. Kali pertama setelah memendamnya selama bertahun-tahun. Hanya berbekal ingatan masa lalu, saya kira pastilah proyek itu terbangun di terminal. Sesampai terminal Tingkir, petugas terminal, tukang parkir, maupun penjaga warung nasi tak memberi jawaban kecuali ketidaktahuan. Tapi ternyata, terminal Tingkir adalah terminal anyar yang dipakai sejak tahun 2000. Lebih muda dari proyek biogas yang hendak saya datangi. Sebelumnya terminal kota Salatiga berada di Soka.

“Sekarang jadi kebun singkong, Mas?” terang tukang parkir ketika tanya lebih lanjut tentang terminal Soka [baca selengkapnya...]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar