“Jangan-jangan kota salah nama,” duga saya. Duga yang datang ketika
seorang kawan bertanya bila Palembang berasal dari kata “pelimbang” yang
berkait dengan kegiatan mendulang emas, lalu dimanakah tambang emas itu
tertempat? Atau timah?
Bila ada kota
yang muncul di atas rawa-rawa, itulah Palembang. Meski sekarang tercatat luas
rawa yang tersisa hanya 7.300 hektar yang oleh Walhi Sumsel disebut menyusut
dari 22.000 hektar, sebuah referensi kiralogi (ilmu kira-kira) menyebut 40 – 60
persen daratan Palembang merupakan rawa.
Keberadaan
rawa yang menjadi habitat banyak mahluk air salah satunya ikan betok,
membuat orang Palembang yang dikenal sebagai para pakar (pacak bekelakar),
menyebut kelakar mereka Palembang-an kelakar betok. Reklamasi rawa
atau sepertinya lebih pas dinamai derawaisasi yang dilakukan pengelola daerah
hanya mengurangi populasi ikan betok tanpa mengurangi daya kelakar.
Maaf ngelantur.
Tapi keberadaan rawa berkait dengan jawaban bila ditanya dimana lokasi
penambangan yang membuat nama Palembang dikait-kaitkan dengan kegiatan
penambangan. Arkeolog senior, Gugun Betawi, terkekeh-kekeh menjawab
keingintahuan saya. Lagi pula selain rawa di Palembang dan luapan lumpur dari
ulu yang menyebabkan sedimentasi dimana-mana, teknologi pertambangan masa lalu
pastilah tak meninggalkan jejak sedahsyat tambang emas milik Freeport dan
Newmonster (bukan nama sebenarnya) atau kolong-kolong (lubang) gali timah di
darat Bangka Belitung.
Nurhadi
Rangkuti, kepala Balai Arkeologi Palembang, yang mendalami arkeologi lahan
basah (wetland archaeology) juga berpendapat senada. Palembang kuno,
terutama bila berkait sejarah Sriwijaya yang dianggap berpusat di sini memang
banyak menyisakan kota di bawah kota, tersimpan dalam tanah dan rawa. Tapi
sangat sulit menemukan tempat me-limbang emas di titik yang menjelma
menjadi kota besar bernama Palembang.
Kata
Palembang sendiri diduga sudah sangat tua. Walau kini sedang mulai banyak
ditulis Abdul Azim Amin bahwa Palembang berasal dari bahasa Arab Fa-Lin-Ban,
tapi keberadaannya sudah disebut-sebut dalam catatan tua para pengembara Cina.
Sebagai Pa-lin-fong dalam kronik Chu-fan-chi (1225). Tua sekali itu.
Bagaimana bisa temukan jejak penambangan berteknologi sederhana di sana, sedang
jejak kota tambang minyak modern di Talangakar
yang belum berumur seabad pun kini sudah macam kota dalam dongeng saja.
Kegenitan
untuk menjawab pertanyaan satu kawan mengantarkan saya bepergian jauh jauh jauh
mengulu air Musi. Ke tempat-tempat yang pernah mashyur sebagai [baca selengkapnya]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar