Travelogues

Selasa, 27 Maret 2012

Perubahan Iklim Menyentuh Baduy




Ini masa kawalu. Bulan-bulan perayaan musim tuai padi bagi masyarakat adat Baduy di desa Kanekes. Masa kawalu yang biasanya jatuh pada sekitar Januari - Maret pada kalender Masehi. Meski masa panen tapi warga Baduy makin menekankan hidup bersahaja, misalnya berpuasa dan berpantang mengonsumsi telur. Demi kekhusyukan masa kawalu, mereka menolak kunjungan orang luar dalam rombongan besar.

Tanda-tanda masa panen huma tampak di sepanjang jalan tanah menuju kampung Cibeo (Baduy Dalam). Padi-padi beraneka jenis dijemur di tepi jalan. Tempat menjemur padi, sangat sederhana. Hanya berupa rak dengan dua batang bambu panjang melintang yang ditopang tiang-tiang kayu. Padi-padi diikat, kemudian digantung berbaris horizontal. Agar tak basah kena hujan dan embun, rak diatapi daun kirai (sejenis pohon sagu, Metroxylon rumphii). Atap dimiringkan dengan bagian paling tinggi ke arah matahari terbit dan bagian rendah ke arah matahari terbenam.

Penjemuran padi cara tradisional yang dalam istilah masyarakat adat Baduy disebut “dilantaian” biasanya berlangsung selama sepekan. Dibiarkan tergantung siang-malam. Setelah kering, padi disimpan selama sepekan di sawung atau pondok di tengah ladang, kelak dibawa ke lumbung di kampung.

Meski berada di tepi jalan setapak yang kerap dilalui orang, belum pernah ada laporan petani Baduy kehilangan padi yang sedang dijemur. Kepatuhan pada adat membuat mereka tak berani saling mencuri. Warga luar Baduy pun menghormati dan tak berani mencuri padi masyarakat Baduy.

“Tahun ini panen padi dari huma hanya sedikit,” tutur Idong. Lelaki muda murah senyum ini adalah warga kampung Cibeo, satu dari 3 kampung di kawasan adat Baduy Dalam. Seperti kepala keluarga masyarakat Baduy Dalam lainnya, Idong pun berladang. Sedikitnya dia sudah lewati 16 kali musim padi sedari ia menikah.

“Dua tahun inilah yang paling buruk. Panen sedikit. Padi banyak gebeng (hampa tak berisi).” sambil berjalan mendaki meniti jalan setapak licin dia bercerita sembari menganalisa kegagalan panen. “Musim hujan sepanjang tahun, padi diserang kungkang (walang sangit).”

Saya jadi teringat kebun yang saya kelola, di Cijapun, Pedalaman Selatan Sukabumi. Perubahan iklim akibat pemanasan global memang mendera petani macam kami. Hujan sepanjang tahun 2010 berdampak nyata pada hasil bercocok tanam. Sederhananya, hujan mengurangi intensitas sinar matahari yang amat dibutuhkan daun untuk fotosintesis. Kian sedikit proses fotosintesis berlangsung, makin sedikit pula jumlah bunga yang kelak diharapkan menjadi buah. Hasil panen padi di sawah milik masyarakat sekitar Cijapun merosot jauh, banyak yang hasil panen hanya seperempat hasil tahun-tahun sebelumnya. Begitupun pada tanaman buah dan sayur buah, misalnya papaya dan cabe. Bunga pepaya yang muncul jauh berkurang ketimbang tahun sebelumnya dimana musim panas berlangsung panjang. Cabe berbunga sedikit. Maka wajar bila kemudian harga cabe di pasaran di Indonesia sempat tiba-tiba melonjak berpuluh kali lipat.

Di luar bencana alam (erupsi gunung berapi, banjir, dll) yang memorak-porandakan sentra pertanian di Indonesia, perubahan iklim dengan musim hujan yang kepanjangan menjadi faktor penting pada kegagalan panen di Indonesia.

Selengkapnya dapat dibaca di tulisan saya di kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar