Ini masa kawalu. Bulan-bulan perayaan
musim tuai padi bagi masyarakat adat Baduy di desa Kanekes. Masa kawalu
yang biasanya jatuh pada sekitar Januari - Maret pada kalender Masehi.
Meski masa panen tapi warga Baduy makin menekankan hidup bersahaja,
misalnya berpuasa dan berpantang mengonsumsi telur. Demi kekhusyukan
masa kawalu, mereka menolak kunjungan orang luar dalam rombongan besar.
Tanda-tanda masa panen huma tampak di
sepanjang jalan tanah menuju kampung Cibeo (Baduy Dalam). Padi-padi
beraneka jenis dijemur di tepi jalan. Tempat menjemur padi, sangat
sederhana. Hanya berupa rak dengan dua batang bambu panjang melintang
yang ditopang tiang-tiang kayu. Padi-padi diikat, kemudian digantung
berbaris horizontal. Agar tak basah kena hujan dan embun, rak diatapi
daun kirai (sejenis pohon sagu, Metroxylon rumphii). Atap dimiringkan
dengan bagian paling tinggi ke arah matahari terbit dan bagian rendah ke
arah matahari terbenam.
Penjemuran padi cara tradisional yang
dalam istilah masyarakat adat Baduy disebut “dilantaian” biasanya
berlangsung selama sepekan. Dibiarkan tergantung siang-malam. Setelah
kering, padi disimpan selama sepekan di sawung atau pondok di tengah
ladang, kelak dibawa ke lumbung di kampung.
Meski berada di tepi jalan setapak yang
kerap dilalui orang, belum pernah ada laporan petani Baduy kehilangan
padi yang sedang dijemur. Kepatuhan pada adat membuat mereka tak berani
saling mencuri. Warga luar Baduy pun menghormati dan tak berani mencuri
padi masyarakat Baduy.
“Tahun ini panen padi dari huma hanya
sedikit,” tutur Idong. Lelaki muda murah senyum ini adalah warga kampung
Cibeo, satu dari 3 kampung di kawasan adat Baduy Dalam. Seperti kepala
keluarga masyarakat Baduy Dalam lainnya, Idong pun berladang. Sedikitnya
dia sudah lewati 16 kali musim padi sedari ia menikah.
“Dua tahun inilah yang paling buruk.
Panen sedikit. Padi banyak gebeng (hampa tak berisi).” sambil berjalan
mendaki meniti jalan setapak licin dia bercerita sembari menganalisa
kegagalan panen. “Musim hujan sepanjang tahun, padi diserang kungkang
(walang sangit).”
Saya jadi teringat kebun yang saya
kelola, di Cijapun, Pedalaman Selatan Sukabumi. Perubahan iklim akibat
pemanasan global memang mendera petani macam kami. Hujan sepanjang tahun
2010 berdampak nyata pada hasil bercocok tanam. Sederhananya, hujan
mengurangi intensitas sinar matahari yang amat dibutuhkan daun untuk
fotosintesis. Kian sedikit proses fotosintesis berlangsung, makin
sedikit pula jumlah bunga yang kelak diharapkan menjadi buah. Hasil
panen padi di sawah milik masyarakat sekitar Cijapun merosot jauh,
banyak yang hasil panen hanya seperempat hasil tahun-tahun sebelumnya.
Begitupun pada tanaman buah dan sayur buah, misalnya papaya dan cabe.
Bunga pepaya yang muncul jauh berkurang ketimbang tahun sebelumnya
dimana musim panas berlangsung panjang. Cabe berbunga sedikit. Maka
wajar bila kemudian harga cabe di pasaran di Indonesia sempat tiba-tiba
melonjak berpuluh kali lipat.
Di luar bencana alam (erupsi gunung
berapi, banjir, dll) yang memorak-porandakan sentra pertanian di
Indonesia, perubahan iklim dengan musim hujan yang kepanjangan menjadi
faktor penting pada kegagalan panen di Indonesia.
Selengkapnya dapat dibaca di tulisan saya di kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar