Travelogues

Kamis, 29 Maret 2012

Secangkir Es Krim Bersama Chairil Anwar yang Malang| Suatu Hari di Malang

Chairil Anwar yang (di) Malang. (foto: sam)



Ah! Hatiku tak mau member
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
[Chairil Anwar; Sia-sia 1943]

Chairil Anwar yang (di) Malang

Bait akhir puisi “Sia-Sia” teringat ketika saya berhadapan dengan Chairil Anwar. Ia berdiri membelakangi gereja Kayutangan, Malang. Saya sempat mikir ketika mendapati dia ada di sana. Kesepian sendiri di tengah taman kecil sebuah pertigaan.

Bila saja ia ada Jakarta atau di kota kelahirannya, Medan, saya malas mikir.

Jadi teringat awal menyambangi sang Binatang Jalang ini. Setiba di Malang dalam agenda jalan lebaran, saya tersangkut di studio adik saya. Hingga datanglah Momo, pekerja seni yang dulu banyak terlibat menggarap komik bersama saya. Datang hendak sejenak menculik saya. “Ke rumahku, Syam!” Katanya.

Saya katakan bahwa juga saya ingin menemui Chairil Anwar. Si Binatang Jalang itu menunggu di pertigaan Jl. Basuki Rahmad dan Sugijo Pranoto.

“Orang Malang sendiri tak banyak yang tahu kalo itu patung Chairil Anwar, Syam!” cengir terbit di wajah Momo. Dia tahu. Kukira karena dia memang suka sketsa, patung, diorama, dan apapun yang menyeni-rupa.

Adik saya menyambung dengan pertanyaan sederhana terkait hubungan Malang dan Chairil Anwar.

“Entah. Yang pasti itu dibuat sebagai monument peringatan 6 tahun wafatnya Chairil*,” terang saya sok tahu. Haha! Bukan saya bila tak sok tahu! Saya pun baru baca dari buku Malang Tempo Doeloe**. Buku koleksi adik, dia taruh di lemari buku di studionya. Saya ingat tertulis di sana, barangkali sang penyair besar era revolusi itu hendak bilang;

“Wahai penyair kota malang, ini lho Aku, Chairil Anwar! Endi rek hasil karyamu?!”

Umm… Patung penyair besar tapi kadit ayak (tidak kaya) nan kadit ojir (tidak punya duit)*** ini memang tak banyak. Sejauh menelusur, di tanah air hanya ada dua. Satu ada di di dalam Taman Monas, Jakarta. Diresmikan oleh Gubenur DKI Jakarta R. Suprapto pada tanggal 21 Maret 1986. Patung Chairil yang Jakarta 31 tahun lebih muda dibanding patung Chairil yang Malang.

Menurut Dwi Cahyono dalam buku Malang Telusuri dengan Hati menyebut patung Chairil yang Malang adalah hasil prakarsa Hudan Dardiri. Tapi hubungan Chairil Anwar dan Malang? Bisa jadi karena Malang sempat jadi barometer sastra Indonesia setelah Padang dan Yogyakarta. Begitu ditulis Dahlia Irawati.

Di kampung kelahirannya sendiri, Medan, apakah ada monumen, atau museum khusus untuk mengenang Chairil Anwar? Seorang-demi-seorang Medan yang saya sahabati memberi dua jenis jawaban. Bila bukan “tak tahu”, ya “tak ada”! [baca selengkapnya]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar